#Day10: Penghujung Ramadhan

“ASH-SHALAATU KHAIRUM MINAN-NAUUM…”
Suara azan subuh berkumandang, Ramadhan bergegas menuju masjid, berwudhu dan berdiri tepat di belakang imam masjid. Seperti biasa, di hari terakhir bulan puasa masjid semakin sepi penghuninya. Kata orang-orang, jemaah masjid berbondong-bondong hijrah ke pusat perbelanjaan. Entahlah, Ramadhan tidak tahu.

“Pak, apakah arti idul fitri?”
Ramadhan menanyakan hal yang sama setiap tahunnya.
“Idul fitri artinya hari kemenangan setelah sebulan penuh kita berpuasa. Hari kita bersuka cita. Hari di mana kita diharapkan kembali suci seperti baru lahir.” Jawaban yang kira-kira sama ia terima setiap tahunnya. Ramadhan tersenyum, berterimakasih lantas kembali ke petak kamarnya.

“Ini zakat fitrah, nak. Buat kamu”
“Apa arti zakat fitrah, Pak?”
“Zakat yang wajib dikeluarkan umat Islam baik laki-laki, perempuan, besar atau kecil, merdeka atau budak, tua dan muda, pada awal bulan ramadhan sampai menjelang idul fitri. Zakat fitrah dikeluarkan berupa makanan pokok  yang dibayarkan sebanyak 3,2 liter, atau 2,5 kg. Tujuan zakat fitrah adalah untuk membersihkan jiwa atau menyucikan diri dari dosa-dosanya dan memberikan makan bagi fakir miskin.” Terang sang Bapak. Ramadhan mengucapkan terima kasih, menutup pintu petak kamarnya.

“Ah, Tuhan. Besok semua kembali seperti dulu. Sebelas bulan yang tak sama seperti bulan ini. Masjid yang sepi, semakin sepi. Aku masih ingat setiap hari di bulan puasa, orang-orang bertarawih, membawa makanan untuk berbagi saat buka puasa, memuja-Mu lebih dari biasa, orang-orang kaya menyumbangkan uang mereka tanpa diminta, sungguh aku bahagia melihatnya. Tapi, bagaimana dengan aku? Bagaimana dengan fakir miskin lainnya? Yang puasa dua belas bulan lamanya? Kelaparan, kekurangan harta benda, yang tak bisa memberikan zakat fitrah untuk menyucikan dirinya?” Ramadhan meneteskan airmata. Menggarisi jejak airmata yang jatuh di buku hariannya.

Dibukanya kembali halaman awal di buku hariannya, sebuah tulisan tertoreh di sana,
“Ramadhan dan Lailatul Qadar, nama yang bagus sekali buat kalian, Nak. Kalian lahir tepat di sepuluh hari terakhir bulan ramadhan. Hari di mana kata orang-orang Lailatul Qadar turun. Itu mengapa kami memberi namamu dan saudara kembarmu, Ramadhan dan Lailatul Qadar.”

Ramadhan sejenak berhenti membaca, menarik nafas panjang dan melanjutkan bacaannya,

“Hari ini, tepat idul fitri, Nak. Kami tidak punya baju baru dari toko. Hanya pemberian orang-orang yang kasihan melihat kalian. Tak apa ya? Tahun depan pasti kami punya cukup uang untuk membeli baju baru”

“Hari ini Lailatul Qadar demamnya semakin tinggi. Sejak kemarin. Kami sangat khawatir. Ramadhan yang sehat ya, Nak. Semoga adikmu cepat sembuh.”

“Rasanya kami tak ingin menulis kembali di buku harian ini. Setelah hari itu, Lailatul Qadar anak kesayangan kami kembali pada-Nya. Ramadhan, jangan tinggalkan kami juga, Nak. Berhentilah menangis, masih ada kami temanmu bermain nanti. Seandainya kami punya cukup uang untuk membayar biaya rumah sakit, tentu adikmu masih bersama kita. Maafkan kami, Nak”

Ramadhan menangis tersedu, rasanya ia ingin protes pada Tuhan. Tulisan itu berhenti di sana. Tak pernah disambung lagi. Entah ke mana ayah, ibu? Ada yang bilang mereka berpisah. Ada yang berkisah mereka meninggal dunia karena sakit yang sama dengan yang diderita oleh Lailatul Qadar.
Entahlah, Ramadhan tak pernah tahu.

“Tuhan, terimakasih atas kamar kecil di dekat ‘rumah-Mu’ ini. Maafkan aku yang terlalu bersedih dan takut tak mendapatkan rezeki dari-Mu. Terimakasih telah menyayangiku dengan cara-Mu.”

Ramadhan menutup buku hariannya, “Tuhan-Mu Maha Adil, Nak. Tuhan-Mu Maha Pengasih dan Maha Penyayang.” Kata-kata itu terngiang di telinganya. Di penghujung bulan Ramadhan, sekali lagi ia belajar ikhlas dan bersyukur. Dia tak perlu baju putih yang baru, dia belum mampu membayar zakat bagi dirinya, dia akan sedikit lebih banyak berusaha untuk memperoleh rezekinya, dia mungkin tak berpikir seperti anak-anak seusianya, dia mungkin menjadi anak yang paling menyedihkan di hadapan manusia lainnya, tetapi mungkin dia lebih mengenal Tuhannya dibandingkan siapa saja…

“Ramadhan”
Sebuah suara terdengar dari balik pintu. Ia membukanya lebar-lebar, matanya berbinar-binar
“Ayo, kita shalat ied bersama.”
“Ayo, Kak Rama!” Tarik gadis kecil dengan mukena sedikit kebesaran, menarik-narik tangannya.
“Jangan kaku gitu, dong! Kamu kan sudah jadi anak papa sama mama. Mulai besok tinggal di rumah kita aja, ya.. Nanti sehabis silaturahmi kita bawa barang-barang kamu ke kamar kamu yang baru” Senyum perempuan itu tulus. Ramadhan tersenyum, matanya menatap satu persatu keluarga barunya. ‘Alhamdulillah’, bisiknya haru.

#FFRabu – Pantang! Mundur!

“Putri! Putri! Main yuk?” panggilku dari bawah jendela kamarnya. Ia hanya melirik sebentar lantas memalingkan muka seraya berkata, “Pergi! Aku ga suka Pangeran Kodok!”

“Putri! Putri! Jalan yuk?” panggilku dari bawah jendela kamarnya. Ia hanya melirik sebentar lantas memalingkan muka seraya berkata, “Pergi! Aku ga suka Pangeran berkuda putih!”

“Putri! Putri! Nikah yuk?” panggilku dari bawah jendela kamarnya. Tak ada jawaban. Aku tak gampang menyerah, biarpun mukaku pas-pasan, tungganganku motor butut, tapi cintaku tak akan berhenti hingga mendapat jawaban. Kupanggil ia sekali lagi “Putri! Putri! Nikah yuk?” Ah, itu dia muncul!

Ia berteriak lantang, “Pergi! Aku ga suka sama cowok!”

Sudah

“Jadi kita udahan? Kamu baik-baik aja kan? Ga sakit? Demam? Lupa ingatan?” Tanyaku bertubi-tubi. Ia mengangguk dan menggeleng perlahan.

“Ya. Kita lebih baik pisah. Aku bakal lebih baik tanpamu. Ga bakal sakit hati lagi. Ga akan meriang menahan rindu. Ga mungkin lupa makan dan mandi lagi…” Jawabnya.

“Tapi kamu butuh aku, sayang… Lebih menyakitkan tanpaku. Aku kenal kamu lebih dari dirimu sendiri. Mulai dari ujung rambut sampai ke kuku kakimu. Aku tahu… Tak ada rahasia lagi antara kita…” Ujarku, merayu.

“Sudah tak usah merayuku lagi. Kamu bajingan! Brengsek! Kamu rebut semua dari aku! Hidupku, masa depanku, semua rusak karenamu!”

“Tapi aku masih mencintaimu!”

“Oia? Sayangnya aku tidak. Aku tak mau terus-terusan begini. Tanpa kepastian. Mau ke mana aku nanti? Jadi apa? Cuma jadi budakmu?” Cibirnya.

“Sayang, kau tega…”

Tubuhku berputar-putar, sebelum hanyut oleh aliran air di wastafel.

***
Perempuan itu mematikan keran air.
“Ayo, nak. Kita ke panti rehabilitasi. narkoba. Kau pasti akan melupakannya” Ibu tua itu membimbing putrinya. Kekasihku, dulu.

***
Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku

Aku dan Taman Bunga

Sial! Lagi-lagi putus!
Doni, bekas pacarku malah memilih menikahi perempuan lain, mantan pacarnya. Aku dicampakan begitu saja. Tak ada beda seperti Dion mantanku yang dulu. Ia malah mencoba bunuh diri hanya karena tak mau dinikahkan padaku.

Padahal aku cantik, kaya raya, berpendidikan tinggi, punya rumah sendiri. Kurang apa coba?

“Kamu harusnya mengurangi hobimu duduk-duduk di taman bunga” ujar Sisi teman dekatku.

“Kenapa? Aku suka taman bunga. Indah. Harum. Banyak pasangan saling jatuh cinta menghabiskan waktunya di sini” balasku heran.

Ya, aku sangat mencintai taman bunga. Aku layaknya Princess Syahrini yang bisa dengan manja berkata “Banyak bunga-bunga” atau maju mundur cantik di sini dengan centilnya.

“Tapi kamu itu hantu, Hana. Mana mau mantan-mantanmu menikahimu? Kamu sudah mati. Titik!” Kata Sisi lagi.

Aku tertegun, apakah setelah jadi hantu tak boleh lagi jatuh cinta? Hai, tampan… Kau mau jadi kekasihku? Kalau iya, aku sekarang di belakangmu…

***

Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku

Pahlawan yang Menanti Tanda Jasa

“Jadi kamu mogok ngajar? Kenapa?”

“Sertifikasi belum cair!”

“Hahahah… Kamu ini lucu. Gaji bulanan kan sudah ada?”

“Ada. Hanya menuntut hak yang seharusnya di dapat saja.”

“Maksudmu?”

“Yeah… Gue kan udah ngajar DUA PULUH EMPAT jam perminggu, sesuai syarat sertifikasi. Sudah bulan ke lima, seharusnya tunjangan sudah dibayar dong!”

“Terus?”

“Ya kalau ga dibayar-bayar ngapain gue ngajar?”

“Tapi kamu kan guru?”

“Iya. Gue sadar gue guru. Kalau ga dibayar tunjangannya seharusnya gue ga perlu ngajar dua puluh empat jam.”

“Lantas kamu mau mogok ngajar sampai tunjangan sertifikasi dibayar?”

“Yup. Kalau perlu demo dulu biar cepat cair”

“Hahahahaa.. Pak Guru, Pak Guru…”

***

Kudengar percakapan dua orang itu secara saksama. Aku tersenyum miris.
Seorang guru sertifikasi mogok mengajar karena tunjangannya belum cair. Kupandangi perempuan di depanku dengan iba. Masih tersisa basah di sudut matanya. Ucapannya barusan masih terngiang…

“Kau tahu? Hari ini Ananda tidak sekolah. Sakit, mungkin kelaparan! Sudah hampir satu semester honor mengajarku tak kunjung diberikan. Padahal aku mengajar pagi hingga petang, lebih dari dua puluh empat jam. Lebih dari para guru sertifikasi yang hanya mengajar di pagi hari. Besok mungkin aku mengundurkan diri dari sekolah itu!”

Selamat Pagi, Bu Guru…

“Selamat siang, Miss”
Aku menganggukan kepala membalas sapaan mereka.

Miss?
Entah mengapa para siswa di kelas ini lebih suka memanggil guru mereka dengan sebutan ‘Miss’ atau ‘Sir’ padahal aku bukanlah guru Bahasa Inggris. Lagipula ini bukan sekolah bertaraf internasional, sekolah standar nasional pun juga tidak.

“Lebih keren, Miss.. Seperti novel yang saya baca, film korea juga..”
Alasan mereka ketika kutanya.

“Panggil saya, Ibu” tegasku kala itu.

“Beri salam kepada Ibu Guru…”

“Selamat pagi, cik gu..”

Mataku membesar mendengar sapaan mereka. Apa-apaan ini? Memangnya aku gurunya Upin Ipin?

“Good morning, Miss”

“Goedemorgen”

“Bonjour”

“Selamat pagi, Bu..”

Kepalaku pening. Kelas ini benar-benar membuatku gila.

“Selamat pagi” jawabku ketus. Kulihat beberapa dari mereka cekikikan.

***

“Ibu? Bu Anna baik-baik saja?”
Suara itu samar kudengar. Kupandang lekat bayangan itu yang perlahan tampak jelas. Kepala sekolah!

Aku segera mengiyakan.

“Sudah siap ketemu anak-anak?” Tanyanya lagi. Tanpa menunggu jawabanku, ia membuka pintu itu lebar-lebar. Berpasang mata menatap ke arahku. Menyeringai seperti ingin menelanku hidup-hidup.

“Perkenalkan, ini guru baru kalian…”

“Selamat pagi Bu Guru…”
Sapa anak-anak itu sopan.
“Selamat pagi semua” senyumku mengembang, ternyata mereka tak seperti yang kubayangkan. Bukan makhluk asing yang berbahasa aneh seperti hayalanku semalam.

Flash Fiction: Rendezvous

I saw her on that meeting. She was so sexy with her red dress.

“Pak David? Saya menunggu anda sedari tadi. Silahkan.”
Senyumnya sungguh menawan. Aku tak perlu berpikir dua kali untuk memuji kecantikannya.

Kami memasuki ruang rapat. Ia sekretaris di PT. Apalah Arti Sebuah Nama dan aku diutus dari kantorku untuk mempresentasikan kontrak kerjasama.

Semua berjalan lancar. Perusahaan tempat ia bekerja menyetujui kontrak kerjasama yang kami tawarkan. Aku sungguh senang, terlebih lagi aku berhasil mengajak perempuan bergaun merah itu untuk makan malam berdua.

“Jadi, Pak David sudah berapa lama bekerja di kantor Ini Sajalah Namanya?” Tanyanya saat menunggu hidangan makan malam disajikan.

“Panggil saja David. Cukup lama sampai akhirnya bertemu lagi dengan perempuan secantik kamu.”

“Hahahah…”

Ia tersipu malu.
Aku menggenggam tangannya. Cukup berani memang tetapi apa boleh buat. Aku sungguh menginginkannya.

“Kau semakin cantik” godaku

“Dan kau semakin tua” balasnya

“Ya. Usia yang cukup matang untuk melamarmu, bukan?” Todongku.

“Menurutmu apakah aku tak lagi jadi gadis ingusan saat ini?”

Kami tertawa terbahak-bahak.

She’s my best friend and we fall in love since we’re young then the time flies us apart and blows us to meet again

“Will you marry me?”
Pertanyaan yang kuajukan ketika aku berusia tujuh belas tahun kuulang kembali. Waktu itu ia baru saja berulangtahun yang ke sebelas dan ia menjawabnya dengan berlari menangis pulang ke rumah. Kali ini kuharap jawabannya berbeda.

“Rumahku masih di tempat yang sama. Datanglah…” Jawabnya dengan pipi merona, merah.

Prompt #53: Ice Cream and Teddy Bear: A Thief

sumber gambar

Malam semakin larut, sementara hujan dari tadi sore masih menyisakan rintiknya. Aku masih terjaga di kamar tidurku. Membayangkan suasana yang tercipta tadi siang ketika pipiku merona merah saat bertemu dengannya, si lelaki ice cream. Yes, he’s so cool! Cocok dengan hobinya mengonsumsi es dengan cone itu. Rasanya aku masih bisa menikmati vanila yang tercecer di tepi bibirnya.

Krosak!
Telingaku menangkap suara berisik dari arah ruang makan. Bahkan terdengar sangat jelas sebab kamarku memang berada paling dekat dengan ruangan itu. Bunyinya seperti ketika ibu mengeluarkan belanjaannya dari kantung plastik. Bulu kudukku meremang. Ayah dan ibu sedang di luar kota. Malam ini artinya aku hanya berdua dengan Mbak Nia yang sedang tertidur pulas di sebelahku.

Jleg!
Kali ini aku yakin, itu bunyi pintu kulkas yang ditutup. Pencuri! Batinku cemas. Tapi, apa yang dilakukan pencuri itu dengan membuka-tutup pintu kulkas? Mencuri makanan? Aneh… Lagi pula seingatku di kulkas hanya ada sayuran dan daging mentah.

Jleg!
Bunyi itu berulang lagi, beberapa kali. Aku benar-benar penasaran. Siapa atau apa itu? Kugoyangkan tubuh Mbak Nia, mencoba membangunkannya tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Ia bergeming. Huh, percuma! Ia selalu saja tidur seperti mayat. Kuputuskan untuk menyelidikinya sendirian.

Jlag! Jleg! Jlag! Jleg!
Bunyi itu berirama semakin sering. Jantungku rasanya memompa lebih cepat. Berjingkat kudekati ruang makan, jaraknya hanya sekitar tujuh langkah dari pintu kamar. Kuintip dari balik dinding, satu sosok sedang mencari sesuatu di dalam freezer lalu berpindah ke kulkas bagian bawahnya. Mataku terbelalak kaget melihat sosok itu, “Ka.. Ka.. Kala!” Aku terpekik tertahan. Sosok teddy bear bernama Kala itu membalasku dengan sorotan mata tajam dan wajah menyeringai yang penuh ice cream.

***

Handphone Pertamaku

“Ma.. Dedek mau handphone..”
“Iya, sayang. Nanti ya?”
“Kapan, Ma?”
“Nanti. Mama belum ada uangnya sekarang”
“Tapi nanti belinya yang paling mahal ya, ma?”
“Iya…”

Aku tersenyum senang mendengar janji mama. Mama pasti menepati janjinya dan itu artinya tak lama lagi aku punya handphone sendiri. Cihuy! Aku bisa pamerin ke Cindy, Lala, Mona, Poo… Membayangkannya membuatku sampai senyum-senyum sendiri.

***

“Ma?”
“Ya?”
“Besok tanggal satu kan?”
“Iya…”
“Papa gajian kan?”
“Hmm… Terus?”
“Terus, papa kasih mama uang belanja kan?”
“Iya…”
“Artinya besok mama punya uang, dong!”
“So?”
“So, mama beliin aku handphonenya jadi kan?”
“Beres…”
“Yes!”

***

Aku tak sabar menunggu mama pulang dari belanja. Deg-degan handphone seperti apa yang dibelikan mama. Apakah sebagus punya Lala? Ataukah warnanya secantik milik Cindy?

“Assalamualaikum…”
“Waalaikumsalam, mama” jawabku sembari membukakan pintu. Mataku menatap kantong-kantong belanjaan itu mencari sesuatu.

Mama membongkar isi belanjaannya, dimulai dari sabun, pasta gigi, shampoo, sayuran, daging segar, buah import…
“Mana handphone dedek, ma?” Tanyaku tak sabar.
“Ah, iya”
Mama mengeluarkan bungkusan lain dari dalam tasnya.
“Ini. Baguskan?”
“Bagus sekali!” Teriakku bersemangat. “Terimakasih, Ma…” Ucapku sambil mengecup pipinya.

Kutekan tombol-tombolnya, dari speaker di belakang handphone-ku itu terdengar lagu Happy Birthday, Marry had a little lamb, Entertainer…
AKU SENANG!

***

FF ini diikutsertakan dalam GA-nya Emak Isti’adzah Rohyati

Lorong

Aku berdiri di sini, di dalam sebuah benteng tua peninggalan penjajah. Menanti seseorang, sosok tegap dengan dada bidangnya. Mataku tak lepas dari pintu masuk benteng yang tampak kokoh, terbuat dari baja bercat hitam dan usianya sudah ratusan tahun. Tingginya sekitar tiga meter dan sebelum memasukinya kau harus melewati jembatan kayu besar berpalang besi dengan parit yang menganga lebar di bawahnya.

“Aaaaa… Setan!” Teriakku. Tangan besar itu mencengkram kedua pundakku, kencang. Sakit rasanya.

“Sssttt… Ini aku, sayang” bisiknya sambil membalikan badanku menghadapnya. Belum habis rasa terkejutku, ia begitu saja mengambil satu, oh tidak! Dua, dua kecupan di bibirku.

“Sam! Kau ini lancang!” Makiku. Marah sekaligus malu. Khawatir jangan-jangan ada pengunjung benteng lainnya yang melihat kejadian barusan. Sam, lelaki yang sedari tadi kutunggu hanya terkekeh, mungkin merasa puas atas keberhasilannya tadi. Iya, ia berhasil begitu saja mengecup bibirku tanpa permisi, tanpa komisi!

Hei! Jangan kalian pikir aku ini perempuan nakal yang sedang menunggu pelanggan. Aku perempuan biasa, mahasiswi yang rajin kuliah dan wajar bila jatuh cinta. Entah Samsul ini pacarku yang keberapa. Aku lupa, malas menghitungnya. Prinsipku, lelaki yang jadi pacarku haruslah memenuhi kebutuhanku. Tak ada yang gratis.

“Kita makan siang dulu, yuk?” Ajaknya. Aku mengangguk setuju. Kami keluar dari benteng tua itu, menyeberangi jembatan dan sampailah di tepi jalan raya. Di seberang sana ada pasar tradisional, penuh dengan kios-kios penjual makanan. Bila kau masuk lebih jauh ke dalam pasar, ada banyak pertokoan lama namun tetap ramai dikunjungi pelanggan karena barang-barang yang ditawarkan lebih murah dengan kualitas dan merek yang sama dibandingkan dengan harga mall. Kami memilih kios makanan yang terkenal dengan ayam bakar dan es telernya. Lidahku tak henti berdecap menanti keduanya dihidangkan.

***

“Sam…”
“Hmm?”
“Bangun, Sam. Senja hampir tenggelam. Kita harus pulang, sekarang!”
“Nanti, sayang. Aku masih mengantuk. Lagi pula kau janji kan menemaniku seharian?”
Ia menjawabku sambil berusaha mendekap tubuhku lebih erat.
“Tapi, Sam…”
“Ssshhh…” Ia melakukannya lagi. Mengunci protesku dengan bibirnya yang pahit karena nikotin.

***
BRAAAAKKK!

“Jadi ini kelakuan kamu di belakang aku?”

Dua pasang mata itu membelalak mencoba menutupi bagian tubuh yang tak seharusnya terlihat.

“Dasar brengsek! Kelakuan lu ga juga berubah! Gue udah hamil Sam!”

Sam tersenyum sinis.
“Gue selalu bayar tiap make elu!”

“BANGSAT! ANJING LU!”

***

Hujan membasahi bumi.
Aku tak ingin melihat Sam lagi. Kukira ia jatuh cinta sepertiku, ternyata cuma hayalan indahku saja.
Sam tak lebih dari lelaki yang hanya menganggap perempuan rendah, bisa dibeli dengan mudah.
“Selamat tinggal, Sam…” Bisikku sebelum membuang pisau berlumuran darah itu.